TEKNIK TERAPI RADIASI KARSINOMA SERVIKS
Anatomi
Servik merupakan bagian terendah dari rahim (uterus) yang menonjol ke vagina bagian atas. Bagian atas vagina berakhir di dan mengelilingi leher rahim sehingga leher rahim tersebut terbagi menjadi bagian atas atau bagian supravaginal dan bagian bawah atau bagian vaginal yang biasa disebut portio. (Sherwood,2001)
Leher rahim merupakan bagian yang terpisah dari rahim dan biasanya berbentuk silinder dan panjangnya 2,5 – 3 cm dan mengarah ke belakang dan bawah. (Sherwood,2001)
Bagian luar dari vaginal yang juga disebut ektoserviks dibatasi oleh forniks kanan, kiri, depan, dan belakang ditutupi oleh epitel skuamosa yang terlihat mengkilat dan berwarna merah muda. Di bagian tengah leher rahim terdapat satu lubang yang disebut mulut leher rahim luar yang seolah-olah membagi leher rahim menjadi bibir depan dan bibir belakang. Mulut leher rahim luar berbentuk bundar pada wanita yang belum pernah melahirkan. Dengan mulut leher rahim dalam., mulut leher rahim luar dihubungkan oleh kanalis servikalis yang ditutupi epitel endoserviks. Leher rahim disusun oleh sedikit otot polos terutama pada endoserviks, jaringan elastik dan banyak jaringan ikat sehingga kanalis servikalis mudah diperlebar dengan dilatator. Kanalis servikalis panjangnya 2,5 cm dan berbentuk lonjong,lebarnya kira-kira 5mm dengan bagian paling lebar kira-kira 8mm dan mempunyai lipatan mukosa yang memanjang. Jika terjadi infeksi pada kanalis servikalis, perlekatan dan pembengkakan lipatan –lipatan tarsebut dapat terjadi, sehingga spekulum endoservik sulit ataupun tidak dapat dimasukkan. Dalam hal demikian penilaian kanalis servikalis tidak dapat dilakukan secara kolposkopik ataupun secara panendomikroskopik. (Sherwood,2001)
Gambar. Anatomi Sistem Reproduksi dalam Servik (Sherwood,2001)
Keterangan Gambar
1. Ovarium ligament
2. Fundus
3. Isthimus
4. Ampula
5. Body
6. Cavum uteri
7. Ovarium
8. Infundibukum
9. Istimus
10. Cervik
11. Internal Os
12. Fomik
13. Eksternal Os
14. Vagina
Karsinoma Servik Uteri (KSU)
Penyakit kanker merupakan penyakit yang sangat ditakuti, karena sampai saat ini belum ditemukan cara pengobatan yang efektif.
Pada dasarnya penyakit kanker disebabkan oleh perubahan genetik pada sel-sel normal, sehingga sel-sel tersebut berubah sifatnya dan tumbuh tak terkendali, juga terjadi karena gangguan gen-gen yang mengendalikan proses proliferasi dan diferensiasi. Berdiferensiasi sehingga sel tidak dapat membelah diri lagi (post mitotik). Proses-proses tersebut diperkirakan dikendalikan oleh dua kelompok gen yaitu gen-gen yang memacu dan gen-gen yang menghambat kedua proses tersebut. Gen-gen yang memacu proses diferensiasi dikenal dengan ”proto onkogen” sedangkan gen yang menghambat disebut ” Tumor supressor gen” (NN, 2007).
Kanker dapat terjadi karena sebab-sebab berikut : (NN, 2007)
1. Mutasi pada suatu proto onkogen akibat HPV 16 dan 18
Mutasi tersebut dapat menimbulkan berbagai akibat seperti misalnya gen
yang semula dapat dikendalikan menjadi tidak terkendali.
2. Produksi berlebihan dari produk proto onkogen normal.
Gen berubah letaknya sehingga berada di bawah pengaruh enhancer yang aktif.
3. Penyisipan onkogen yang berasal dari virus onkogenik.
4. Ketiadaan / tidak aktifnya anti onkogen.
KSU merupakan penyakit keganasan yang menimbulkan masalah dalam kesehatan kaum wanita terutama di negara yang sedang berkembang termasuk di Indonesia. Frekuensi kesakitan dan kematian karena neoplasma ini merupakan yang terbanyak dari penyakit keganasan ginekologik. Menurut laporan berbagai centra patologi di Indonesia, KSU menempati urutan pertama dari penyakit keganasan yang ada. Berbeda dengan di Indonesia, di negara maju KSU berada pada urutan kelima setelah karsinoma payudara, kolorectal, paru dan kulit. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan adanya program Pap Smear di negara maju yang dilakukan periodik dalam upaya deteksi dini KSU (Tambunan,1991).
Patogenesis
KSU 95% terdiri dari karsinoma sel skuamos dan sisanya merupakan adenokarsinoma dan jenis kanker lain. Hampir seluruh KSU didahului derajat pertumbuhan prakarsinoma yaitu displasia dan karsinoma in situ. Proses perubahan di mulai pada daerah sambungan skuamos - kulumnar (SSK) dari selaput lender porsio. Perubahan mula - mula ditandai dengan epitel etipik dengan mitosis aktif, susunan sel tidak teratur meliputi sepertiga bagian basal epidermis, dan perubahan ini disebut displasia ringan. (Tambunan,1991)
Bila proses berlanjut, maka perubahan akan melibatkan separoh atau duapertiga atau seluruh lapisan epidermis dan masing - masing disebut displasia sedang, berat dan karsinoma in situ yang sangat berpotensial menjadi karsinoma invasive. Proses perubahan sel epitel menjalar ke arah endoserviks dan ektoserviks. Pada daerah endoserviks terjadi hyperplasia sel cadangan yang terletak di bagian basal epitel endoserviks dan potensial tumbuh menjadi karsinoma sel kecil ( small cell carcinoma ). Karsinoma yang tumbuh di daerah ektoserviks dikenal sebagai karsinoma sel skuamos dengan keratin, dan di daerah peralihan sel skuamos dan kolumnar akan tumbuh karsinoma sel skuamos tanpa keratin.(Tambunan,1991)
Terjadinya perubahan derajat sel epitel displasia dan karsinoma in situ memerlukan waktu yang relative lama. Demikian juga perubahan karsinoma in situ menjadi karsinoma invasive terjadi setelah bertahun - tahun. Salah satu bukti yang menyokong teori ini ialah perbedaan umur yang bermakna antara penderita prakarsinoma dan karsinoma invasive. Umur penderita prakarsinoma 10-15 tahun lebih muda daripada penderita karsinoma invasive. Perilaku biologis sel tumor dalam proses pertumbuhan memungkinkan neoplasma ini dapat dideteksi pada tingkat pertumbuhan awal (Tambunan, 1991).
Dalam perjalanan pertumbuhan prakarsinoma sebagian besar displasia regresi menjadi epitel dengan perubahan minimal sampai normal. Demikian juga karsinoma in situ sebagian kecil mengalami regresi menjadi displasia sedang ataupun ringan. Akan tetapi, karsinoma invasive tidak pernah mundur menjadi karsinoma in situ atau displasia. Dari proses pertumbuhan neoplasma ini dapat dipelajari bahwa pada prakarsinoma stadium pertumbuhan lanjut sebagian berubah menjadi prakarsinoma stadium pertumbuhan awal, dan sebagian tumbuh menjadi karsinoma invasive. Kapan waktu point of no return dari proses ini belum diketahui. Akan tetapi, semakin lama dalam status prakarsinoma semakin sedikit kemungkinan terjadi reversible (Tambunan, 1991).
Etiologi (Syafrudin,2001)
Faktor penyebab dan faktor resiko
Penyebab KSU belum jelas diketahui. Namun ada beberapa faktor resiko dan predisposi yang menonjol: (Tambunan, 1991)
1. Umur pertama kali melakukan hubungan seksual. Penelitian para pakar menunjukkan bahwa semakin muda wanita melakukan hubungan seksual semakin besar resiko mendapat KSU. Kawin pada usia 20 tahun dianggap terlalu muda.
2. Jumlah kehamilan dan partus. KSU terbanyak dijumpai pada wanita yang sering partus. Semakin sering partus semakin besar resiko mendapat KSU. Kategori partus sering belum ada keseragaman, menurut beberapa pakar berkisar 3 - 5 kali.
3. Jumlah perkawinan. Wanita yang sering melakukan hubungan seksual dan sering berganti pasangan mempunyai faktor resiko yang besar terhadap kejadian tumor ini. Pada penelitian sitologi tes Pap sekelompok wanita tunasusila dan wanita biasa, ternyata jumlah kasus prakarsinoma lebih banyak ( bermakna ) pada wanita tunasusila.
4. Infeksi Virus. Pada waktu ini banyak perhatian ditujukan pada kemungkinan peran Human Virus Papilloma ( HPV ) untuk terjadinya KSU. Atas dasar data epidemologik dianggap bahwa HPV mempunyai peran penting pada terjadinya KSU dan stadium pendahulunya ( displasia ). Pada waktu ini dikenal kira - kira 70 macam tipe HPV, terutama tipe HPV-6,11,16 dan 18. (Panitia Kanker RSUP dr.Sarjito,1999)
5. Sosial Ekonomi. KSU banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah. Mungkin faktor sosial ekonomi ada kaitannya dengan gizi dan imunitas. Pada golongan sosial ekonomi rendah umumnya kwantitas dan kwalitas makanan kurang dan hal ini mempengaruhi imunitas tubuh. Akhir - akhir ini merokok juga ikut diperhitungkan sebagai faktor predisposisi.
6. Higiene dan sirkumsisi. Wanita jahudi jarang dijangkiti oleh KSU. Diduga hal ini ada kaitannya dengan hygiene dan sirkumsisi. Pada wanita Muslim di India, KSU lebih rendah secara bermakna dibanding dengan wanita non muslim. Akan tetapi, di Indonesia muslim merupakan mayoritas, faktor sirkumsisi tampaknya tidak berpengaruh pada kejadian KSU. Pada wanita Jahudi yang dikenal mempunyai hygiene seksual yang baik jarang ditemukan KSU.
Penentuan Stadium
Sebelum terapi, terlebih dahulu ditentukan stadium tumor bertujuan untuk memilih terapi yang tepat dan evaluasi prognosis. Stadium tumor ditentukan berdasarkan pemeriksaan fisik ( insperksi dan pulpasi ), kolposkopi, histopatologi biopsy atau konisasi, kerokan indoserviks, urografi dan servey metastasis. (Perez, 2004)
Terdapat beberapa macam klasifikasi dari karsioma servik, tetapi yang paling banyak dijadikan acuan adalah klasifikasi yang dibuat oleh FIGO, yaitu : ( Perez, 2004 )
1. Stadium atau tingkat 0
Karsinoma In Situ ( KIS ) atau karsinoma intraepithelial, bagian membrane basalis masih utuh.
2. Stadium atau tingkat I
Proses masih terbatas pada cervik uteri walaupun ada perluasan ke korpus uteri.
3. Stadium atau tingkat IA
Karsinoma mikroinvasif, bila membrane basalis sudah rusak dan sel tumor sudah memasuki stromatak lebih dari 3 mm dan sel tumor tidak terdapar dalam pembuluh limphe atau pembuluh darah.
4. Stadium atau tingkat IB occ ( IB yang tersembunyi )
Secara klinis tumor belum tampak sebagai karsinoma tetapi pada pemeriksaan histologik ternyata sel tumor telah mengadakan invasi stroma melebihi IA.
5. Stadium atau tingkat IB
Secara klinik sudah diduga adanya tumor yang secara histologik menunjukan invasu ke dalam stroma servik uteri.
6. Stadium atau tingkat II
Proses keganasan sudah keluar dari servik uteri dan menjalar ke 2/3 bagian atas vagina dan atau ke paramentrium, tetapi tidak sampai mencapai dinding panggul.
7. Stadium atau tingkat IIA
Penyebaran hanya ke vagina, paramentrium masih bebas dari infiltrasi tumor.
8. Stadium atau tingkat IIB
Penyebaran ke paramentrium, uni atau bilateral tetapi belum sampai ke dinding panggul.
9. Stadium atau tingkat III
Penyebaran telah sampai ke 1/3 distal vagina atau ke paramentrium sampai ke dinding panggul.
10. Stadium atau tingkat IIIA
Penyebaran telah sampai ke 1/3 distal vagina sedangakan penyebaran ke paramentrium tidak dipermasalahkan tetapi, asal tidak sampai ke dinding ke dinding panggul
11. Stadium atau tingkat IIIB
Penyebaran telah masuk ke dinding panggul, tidak ditemukan daerah bebas infiltrasi antara tumor primer dengan dinding panggul ( frozen pelvik ) atau proses pada tingkat klinis I dan II tetapi sudah didapatkan gangguan faal ginjal.
12. Stadium atau tingkat IV
Proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan melibatkan bagian mukosa rectum dan atau vesika urinaria ( dapat dibuktikan secara histologik ) atau telah terjadi metastasis keluar panggul atau ke tampat – tempat yang jauh.
13. Stadium atau tingkat IVA
Proses telah keluar dari panggul kecil atau sudah menginfiltrasi mukosa rectum dan atau vesika urinaria.
14. Stadium atau tingkat IVB
Gambar 2.3. Anatomi kanker cervik (Sherwood,2001)
Keterangan Gambar :
1. Cervik
2. Cancer Tissue
3. Vaginal Wall
Metode Diagnosa, Metode Pencegahan dan Metode Terapi
Metode Diagnosa (Tambunan,1991)
Anamnesis
Penderita KSU sering mengeluhkan adanya perdarahan per vagina abnormal yang bervariasi antara lain:
· Contact bleeding yaitu perdarahan yang terjadi sesudah hubungan seksual,
· Haid yang berkepanjangan, lebih dari 7 hari atau perdarahan terjadi diantara 2 haid,
· Perdarahan sesudah 2 tahun post menapause,
· Perdarahan yang mirip dengan cairan cucian daging, berbau amis, biasanya dijumpai pada stadium lanjut.
Pemeriksaan Fisik
Palpalasi abdomen bagian bawah perlu dilakukan untuk mengetahui kemungkinan adanya massa di daerah rongga abdomen. Palpalasi fosa iliaka bertujuan untuk meraba limfadenopati sebagai manifestasi karsinoma di kelenjar getah bening iliaka. Pemeriksaan umum dilakukan untuk survey kemungkinan adanya metastase pada pembesaran organ seperti pada pembesaran kelenjar getah bening inguinal, supraklavikuler dan hepatomegali. Pemeriksaan serviks uteri merupakan prosedur mutlak perlu dilakukan untuk melihat perubahan porsio vaginalis.
Tes Pap Smear
Pemeriksaan Pap Smear seharusnya dilakukan secara rutin pada wanita yang sudah pernah melakukan hubungan kelamin sampai berusia 65 tahun, dan Pap Smear paling sedikit dilakukan sekali dalam setahun. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengambil bagian sitologik pada kanalis servikalis dengan menggunakan spatula ayre. Syaratnya, dua hari sebelum pemeriksaan pasien tersebut dilarang melakukan coitus maupun memasukan obat-obatan ke dalam vagina. Waktu yang baik untuk melakukan pemeriksaan adalah beberapa hari setelah selesai menstruasi.(Payne,1982)
Apusan sitologi Pap atau Pap-Smear diterima secara universal sebagai alat skrining karsinoma serviks uteri. Metode ini peka terhadap pemantauan derajat pertumbuhan epitel serviks termasuk displagia atau karsinoma in situ, sehingga pertumbuhan lebih lanjut dapat dicegah.(Payne,1982)
TABEL 1-2. KLASIFIKASI MENURUT PAPNICOLAOU (Payne,1982)
KLAS | INTERPRETASI |
I | Smir normal |
II | Smir atipik atau abnormal, namun tidak dikatagorikan pada neoplasma |
III | Sel epitel diskarotik atau displasia ringan, displasia sedang dan displasia berat |
IV | Sangat mencurigakan malignan (karsinoma in situ) |
V | Definitive maligna (karsinoma invasive) |
0 | Inkonklusif atau unsatisfield smear |
Kolposkopi
Kolposkopi adalah alat ginekologi yang dipergunakan untuk melihat perubahan stadium dan luas pertumbuhan abnormal epitel serviks uteri. Metode ini mampu mendeteksi prakarsinoma serviks dengan akurasi diagnostik yang tinggi. Namun, kolposkopi tidak lazim dipergunakan untuk skrining karsinoma leher rahim karena biaya mahal, pemeriksaan memerlukan waktu dan prosedur pemeriksaan kurang praktis dibanding dengan tes Pap-Smear. Fungsi kolposkopi adalah sebagai berikut : (Kirkup,1980)
· Koreksi terhadap diagnosis sitologi atipik persisiten dan sitologi abnormal (displagia, karsinoma in situ).
· Mengevaluasi luas neoplasma.
· Pemadu biopsi atau konisasi.
· Penilaian untuk menemukan tindakan klinik yang tepat pada wanita hamil (dengan kasrsinoma serviks uteri).
Biopsi
Biopsi merupakan prosedur diagnostik yang penting sekalipun sitologi usapan serviks menunjukan karsinoma. Specimen diambil dari daerah tumor yang berbatasan dengan jaringan normal. Untuk memperoleh specimen yang adekuat, teknik biopsi biasanya dilakukan sebagai berikut : (Kirkup,1980)
· Biopsi ganda buta (randomized)
·
Secara random biopsi dilakukan pada beberapa tempat misal pada jam 9,12,3,6 arah putaran jarum jam.
· Biopsi dengan tes Schiller.
Bertujuan untuk menentukan target biopsi.
· Biopsi dengan panduan kolposkop
Biasanya dilakukan pada sitologi abnormal ataupun pada kasus dimana gekala klinis tidak jelas.
· Konisasi dengan panduan kolposkop.
Konisasi adalah pengambilan sebagian dari serviks uteri dengan teknik sedemikian rupa, sehingga specimen berbentuk kerucut ( konus ) dan kanalis endoserviks di bagian tengah sebagai sumbu.
Metode Pencegahan (Tambunan,1991)
Vaksinasi
Sekarang telah ditemukan vaksin baru untuk mencegah KSU. Bulan juni 2006 U.S. Food and Drug Administration menyetujui vaksin yang disebut Gardasil, yang mencegah infeksi melawan kedua macam tipe HPV yang bertanggungjawab terhadap mayoritas kasus karsinoma serviks. Penelitian memperlihatkan bahwa vaksin dapat mencegah stadium dini KSU dan lesi pre-kanker. Gardasil merupakan vaksin pertama yang diakui dengan target khusus mencegah kanker tipe apapun. (NN, 2007)
Vaksinasi untuk mengatasi inveksi HPV lebih menjanjikan sebagai strategi terapi KSU. Sediaan vaksin HPV-16 dalam double blind study pada 2392 wanita dapat mencegah infeksi virus secara komplit, dan tidak ada kasus HPV-16 yang berhubungan dengan CIN, terdapat pada wanita yang telah divaksinasi. Vaksin HPV saat ini tersedia untuk mencegah bentukan displasia atau neoplasia terkait HPV termasuk KSU. Seri imunisasi ini, harus diselesaikan secara lengkap pada wanita muda usia 9-25 tahun. (Kirwan,2001)
Preparat vaksin ini tentu saja tidak boleh diberikan pada pasien yang mendapat terapi immunosupresif ( seperti sedang menerima radiasi serial, mengunakan preparat anti neoplastik, atau sedang menggunakan kartiko steroid sistemik jangka panjang), karena dapat menyebabkan rendahnya respon immune terhadap vaksin, sehingga tidak terbentuk system immune protective seperti yang diharapkan. (Kirwan,2001)
Metode Terapi (Tambunan,1991)
Metode terapi pada KSU meliputi terapi bedah, radioterapi dan kemoterapi ( Tandiari,1986).
Terapi Bedah
Pada karsinoma in situ dan mikroinvasif, tumor dibuang dengan cara konisasi, koagulasi ataupun histeroktomi. Ahli ginekologi lebih banyak memilih histeroktomi total disertai dengan manset vaginal kecil. Pada wanita yang masih menginginkan anak atau penderita yang menolak histerektomi dapat mempertimbangkan konisasi atau elektrokoagulasi.
Radioterapi
Pada karsinoma invasive stadium lanjut (IIb,III,IV) terapi biasanya bersifat paliatif, dititik beratkan pada radiasi eksternal dan internal. Kemajuan teknologi radioterapi pada saat ini dimana radiasi dapat diarahkan pada massa tumor yang akurat.
Radioterapi menjadi pengobatan terpilih pada KSU stadium IIB-IVA antara lain karena : (R. Susworo, 2007 )
· Efektif dan efisien ( dibandingkan dengan pembedahan ditambah kemoterapi )
· Angka mortalitas praktis dan morbiditas sangat rendah pada penatalaksanaan yang baik
· Tidak menimbulkan rasa takut.
Kemoterapi
Pada umumnya sitostatika hanya merupakan terapi ajuvan. Kemoterapi yang sering dipergunakan pada KSU adalah Methotrexate, Cyclophosphamide, Adriamycin dan Mitomicin-C. Sitostatika biasanya diberi kombinasi.
Penatalaksanaan Radioterapi KSU
Radiasi Eksteranal
Target radiasi yang dituju pada KSU adalah target volum ( tumor primer lympfonodi pelvis, lymphonodi parailiaca, lymphonodi iliaca communis, serta KGB obturator ) (Tjokronagoro Maesadjie, 2002).
Penentuan lapangan radiasi ( clinical target volume atau planning target volume ) dilakukan dengan bantuan fluoroscopy di pesawat simulator. Untuk pesawat radioterapi yang telah mempunyai peralatan canggih, dalam merencanakan radiasi dilakukan dengan bantuan CT simulator dan TPS tiga dimensi, dengan demikian didapatkan target volume radiasi yang lebih akurat. Untuk karsinoma serviks uteri stadium Ia/Ib post operasi pan hysterectomy dan karsinoma serviks stadium IIa post operasi whertheim. (Tjokronagoro Maesadjie, 2002)
Teknik radiasi whole pelvis 2 lapangan Anteroposterior-Posteroanterior ( AP-PA ), dapat digunakan dengan alasan - alasan yang harus diradiasi dengan radioterapi berupa microscopic residual disease, karena stadiumnya masih dini jadi dibuat 2 lapangan AP-PA sudah mencukupi. (Tjokronagoro Maesadjie, 2002)
Batas-batas lapangan radiasi whole pelvis adalah: (R. Susworo, 2007)
Lapangan AP-PA
Batas atas : Perbatasan antara tulang lumbal 4 dan 5, pada percabangan
aorta dimana terletak kelenjar getah bening iliaka komunis.
Batas bawah : Diambil pertengahan simpisis untuk stadium I dan Iia, sedang
kan untuk stadium lebih lanjut batas bawahnya foramen obturatorium. Apabila vagina distal terkena tumor, maka batas bawah ini mengikuti letak marker metal yang ditaruh pada bagian distal tumor secara radiografris.
Batas lateral kiri, kanan : 1,5 sampai 2 cm dari tepi rongga panggul ke arah
lateral.
Teknik radiasi 4 lapangan AP-PA dan Laterolateral kiri dan kanan akan mengurangi dosis pada kandung kemih dan rectum.
Batas-batas radiasi 4 lapangan :
Untuk batas – batas lapangan radiasi batas atas dan batas bawah mengikuti lapangan AP – PA.
Batas anterior diletakkan pada bagian tengah simpisis pubis yang tampak secara radiologik.
Batas posterior mengikuti bagian posterior kuvakura sacrum. Lapangan akan menjadi lebih akurat dengan menengarai kandung kemih kateter balon yang diisi kontras serta pada dinding rectum bagian anterior yang diberi panera logam.
Pemberian 4 lapangan radiasi akan memberikan distribusi dosis yang sempurna dari 2 lapangan disamping menurunkan dosis pada organ kandung kemih dn rectum. Namun, kendalanya adalah diperlukan waktu yang lebih lama pada saat pelaksanaan radiasi sehingga tidak dianjurkan untuk diterapkan pada sentra radioterapi dengan jumlah pasien banyak. (R. Susworo, 2007)
Gambar.2. 4. Target Volum : Tumor bed bekas tempat serviks,`
Gambar.2. 4. Target Volum : Tumor bed bekas tempat serviks,`
.(Kumar,1986)
Prosedur Penyinaran KSU (Tjokronagoro Maesadji, 2002)
Desain Lapangan Penyinaran
· Eksternal radiasi
· Teknik SSD
· Multifield
· Energi foton gamma (Co-60), 1,25 MeV.
Volume Target Radiasi
· Tumor primer
· Rangkaian Limphonodi Illiaca Communis
· Rangkaian Limphonodi Externa
· Rangkaian Limphonodi Illiaca Interna
Pemeriksaan Laboratorium (Tjokronagoro Maesadjie, 2002)
Utama/Dasar :
· Darah rutin (Hb, Diff.Tell., Trombosit, Leukosit)
· Urine lengkap (makroskopis, mikroskopis, dan sendimen)
· Fungsi Hepar (SGOT, SGPT, Billirubin direct & indirect, Albumin, Globulin)
· Fungsi Ginjal (Ureum, Kreatinin)
· Histopatologi (Squamous cell Ca., Adeno Ca., Epidermoid Ca defferensiasi jelek/sedang/baik)
Tambahan pemeriksaan ( apabila terdapat indikasi )
· Foto Rontgen polos (Thorax, Tulang, Pelvis)
· Foto Rontgen kontras (BNO-IVP, Colon in Loop, USG Abdomen).
· Kedokteran Nuklir (bone scan, Renogram)
· Rectoscopy
· Cystoscopy
· Tumor marker
Pencatatan data riwayat penyakit pada format status radioterapi dan hasil pemeriksaan fisik
Anamnesa khusus :
· Riwayat penyakit
· Usia waktu perkawinan
· Parietas
· Kehamilan terakhir
· Riwayat haid dan keluhan utama
· Pengobatan sebelumnya
Anamnesa Umum
(sesuai dengan format isian pada status radioterapi)
Tahapan Teknis Eksternal Radioterapi (PJKR,2006)
Pembuatan Foto Simulator.
Simulator HMD-IA adalah peralatan untuk mensimulasikan penyinaran pada tumor. Pesawat ini terdiri dari control console, Main unit dan Treatment table.
· Posisikan meja untuk pemeriksaan. Setelah pasien berbaring pada meja pemeriksaan, tinggikan meja sesuai dengan keperluan dan gerakkan meja ke posisi longitudinal dan lateral sesuai pemeriksaan.
· Sesuaikan lapangan penyinaran . Melalui kontrol konsole, lihat gambar pada monitor dan operasikan gantry, meja pemeriksaan, kolimator, dan delineator untuk penempatan yang benar.
· Gambar garis pada Lapangan penyinaran. Setelah mendapatkan posisi yang tepat matikan sinar-x, masuk ke ruang pemeriksaan, nyalakan lampu lapangan dan indikator jarak optik, gambar garis pada lapangan dan pusat lapangan pada tubuh pasien menurut proyeksi dari lampu lapangan dan indikator jarak optik.
· Pemotretan radiografi. Jika diperlukan data dengan film, letakkan film dalam kaset dan taruh kaset tersebut pada tempatnya di LowerArm, atur kv dan mAs yang dibutuhkan, kemudian diekspose.
· Mencatat parameter. Setelah pemeriksaan selesai, jangan merubah status sistem dan catat seluruh parameter yang ada di monitor.
Pembuatan Foto CT-Dosimetri Pelvis
Pembuatan foto CT-Dosimetri dilakukan secara terpisah di ruang CT-Scan dengan pengantar dari ruang simulator dengan membawa peralatan bantu ( masker, bantalan mamae dll ) yang digunakan di dalam simulator. Pembuatan CT-Dosimetri dilakukan dengan menggunakan 3-4 slice sesuai dengan pengantar. Penentuan titik slice ditandai dengan marker yang telah dibuat di simulator. Umumnya pembuatan slice pada batas bawah, center dan batas bawah dari lapangan penyinaran. Setelah pemeriksaan CT-Dosimetri selesai, hasil film CT-Scan dibawa di ruang Treatment Planning System ( TPS ) untuk di lakukan perhitungan dosis dan distribusi dosis.
Perhitungan dosis dan distribusi dosis menggunakan sistem komputer dosimetri 3D.
Setelah hasil film dari CT-Dose jadi langsung dilakukan scaning pada scanner. Masukan data pasien yang akan dihitung dosis. Setelah itu hasil scanner tersebut diolah menggunakan program TPS 3D Angel Plans. Pembuatan countour untuk menghasilkan surface, tumor, sensitive organ, bone yang nantinya akan terbentuk gambar 3 Dimensi Coutour. Kemudian isi dosis yang diberikan pada Calculation di Algoritthm. Perhitungan dosis dan distribusi dosis secara komuterise akan keluar. Masukan hasil waktu dosis pada lembar status.
Prosedur Penyinaran
· Masukan data pasien untuk pasien baru, hindarkan pasien dari benda yang menyangkut target penyinaran.
· Pasien masuk ke ruangan penyinaran dan di posisikan pada meja treatment dan pasang alat – alat sesuai perencanaan di TPS pengaturan posisi dilakukan dengan melihat buku status penyinaran yang berisi posisi pasien, teknik jarak yang dipakai, alat bantu fixsasi, dan luas lapangan yang digunakan sesuai perencanaan.
· Masukan data pasien pada komputer, kemudian masukan data sesuai dengen status penyinaran ( waktu dosis, penggunaan wedge dll ) yang di gunakan selama penyinaran.
· Pengawasan terhadap pasien dilakukan melalui TV Monitor, setelah penyinaran selesai keluarkan pasien dari ruangan.
Desain Lapangan Penyinaran pada Radioterapi sebagai modalitas terapi (Tjokronagoro Maesadjie, 2002)
Pembuatan foto simulator lapangan penyinaran AP/PA :
Batas cranial : L5-S1 atau L4-L5 (untuk stadium lanjut).
Batas caudal : tepi caudal formen obturator (untuk stadium lanjut dengan vaginal involverment di perluas ke caudal s/d 1,5-2 cm diluar lesi).
Gambar 2.5. Foto Simulator Lap AP atau PA
Gambar 2.5. Foto Simulator Lap AP atau PA
Pembuatan foto simulator lapangan lateral kanan/kiri :
Batas cranial dan caudal sama dengan lapangan AP/PA.
Batas anterior : tepi posterior sympisis pubis.
Dibuat Foto CT-Dosimetri Pelvis (minimal 3 slice)
Slice-1, melewati central target volume.
Slice-2, berjarak l.k. 2-3 cm diatas slice-1
Slice-3, berjarak l.k 2-3 cm dibawah slice-1
Dosimetri
Dosis total 45-50 Gy, dosis fraksinasi 1,8 Gy, 5 kali dalam seminggu Pembobotan (weighted) : lapangan AP 37%, lapangan PA 37%, lapangan lateral kiri 13 %, dan lapangan lateral kiri 13%. Dibuat kurva isodosis total seluruh lapangan penyinaran.
Teknik ”Box System” (R.Susworo, 2007)
Dikenal pula teknik 4 lapangan yang disebut teknik boks ( box tehnique). Dalam pelaksanaan sehari hari teknik ini digunakan untuk pemberian boster apabila pada pasien tidak dimungkinkan dilakukan tindakan brakhiterapi karena berbagai alasan, atau pada kasus kambuh. Lapangan boks ini mencakup hanya tumor dan seluruh rahim yang biasanya meliputi daerah seluas 10x10 cm.
Gambar 2.7. Teknik Box System AP Lat (Tjokronegoro,2007)
Brachiterapi (R. Susworo,2007)
Boster Brachyterapi ovoid pada puntung vagina ,yaitu bila pada akhir radiasi box system masih didapatkan residual desease pada puntung vagina, yang dibuktikan dengan pemeriksaan PAP Smear, dapat dilakukan boster radiasi dengan brachiterapi dengan dosis 850 Cgy pada point A atau 3 x 650 Cgy, 2 cm dari source waktu interval sebanyak 3 kali aplikasi.
Gambar 2.8. Brachiterapi pada ca cervik (Kumar,1986)
Gambar 2.8. Brachiterapi pada ca cervik (Kumar,1986)
Bagan Penatalaksanaan Karsinoma Servik Uteri ( KSU )
Prinsip penatalaksanaan KSU melalui pendekatan multi disiplin antar gynekologi-onkologi dan radiasi onkologi, baik dalam menentukan staging atau perencanaan terapi.(Bonford,1993)
makasih mas
ReplyDelete