Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday, November 20, 2010

TEKNIK RADIOTERAPI EKSTERNA KARSINOMA NASOFARING

TEKNIK RADIOTERAPI EKSTERNA KARSINOMA NASOFARING
1.     Anatomi Nasofaring
Nasofaring disebut juga epifaring, rinofaring yang terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum molle dan di bawah dasar tengkorak. Bentuknya sebagai kotak yang tidak rata dan berdinding enam, dengan ukuran melintang 4 sentimeter, tinggi 4 sentimeter dan ukuran depan belakang 2-3 sentimeter.
Batas-batas nasofaring dengan organ lain adalah (Viviroy, 2008) :
a.     Dinding depan           :  Koana.
b.     Dinding belakang      :  Merupakan dinding melengkung setinggi vertebrae   I servikalis I dan II.
c.     Dinding atas     :  Merupakan dasar tengkorak.
d.     Dinding bawah                  :  Permukaan atas palatum molle
e.     Dinding samping      :   Di bentuk oleh tulang maksila dan sfenoid.   Dinding samping ini berhubungan dengan   ruang  telinga tengah melalui tuba eustachius.
Bagian tulang rawan dari tuba eustachius menonjol di atas ostium tuba yang disebut  torus tubarius. Tepat di belakang ostium tuba terdapat cekungan kecil disebut resesua faringeus atau lebih dikenal dengan fosa rosenmuller, yang merupakan  lokalisasi permulaan tumbuhnya tumor ganas nasofaring.

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring
(http//:brain-klinik-blogspot.com,2008)

Gambar 2.2  Bagian anatomi Saluran pernapasan atas
(http//:brain-klinik-blogspot.com,2008)
Patologi Karsinoma Nasofaring (K.S.Clifford Chao dkk, 2000)

Kira-kira 90 % Karsinoma nasofaring  adalah jenis epidermoid atau karsinoma yang tak terdiferensiasi sedang 10 % sebagian besar merupakan limpoma tetapi juga bisa berupa plasmacytoma. Sedang tumor yang berasal dari kelenjar liur berupa melanoma, rhabdomyosarcoma dan chordoma. Karsinoma adenoid cystic pada nasofaring jarang terjadi, sedang sarcoma kadang muncul dari embrional atau jaringan ikat. Kebanyakan limpoma nasofaring bersifat limfoma sel mayor nonhodgkin.



 
Gambar 2.3  Patologi Karsinoma Nasopharing
(handikinblogofendoscopy.blogspot.com,2008)


Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia (Susworo, 2007). Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa atau limfoepitel pada nasofaring. Karsinoma nasofaring juga dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi mengadakan metastasis regional maupun jauh. Karsinoma nasofaring sensitif terhadap radioterapi maupun kemoterapi ( Mulyarjo, 2002).
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO ) sebelum tahun 1991 dibagi menjadi 3 tipe yaitu :
Tipe 1 :  Karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi.
Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.
Tipe 2 :  Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi.
Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada        diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan inter sel. Pada        umumnya batas sel cukup jelas.
Tipe 3 :    Karsinoma tidak berdiferensiasi.
Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti         yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa diferensiasi mempunyai sifat radiosensitif dan mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr.
Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991 dibagi menjadi 2 tipe, yaitu :
Karsinoma Sel Skuamosa berkeratinisasi.
Karsinoma non keratinisasi.
Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.


 Gambar 2.4 Pasien Dengan Pembesaran Kelenjar Getah Bening
                                          (Susworo, 2009)
Etiologi Karsinoma Nasofaring ( Viviroy, 2008 )
Karsinoma nasofaring disebabkan oleh beberapa faktor, namun sampai saat ini penyebab pasti belum jelas.
Faktor penyebab karsinoma nasofaring diantaranya faktor genetik, ras mongoloid merupakan yang paling banyak terkena. Faktor lingkungan, kultural dan gaya hidup masyarakat serta makanan yang diawetkan  seperti ikan asin yang mengandung zat nitrosamin  juga berhubungan dengan terjadinya karsinoma nasofaring. Keterlibatan virus Epstein Barr (EBV) dalam timbulnya karsinoma nasofaring dibuktikan dengan ditemukannya Deoxyrebonucleic Acid (DNA) di dalam serum plasma  penderita karsinoma nasofaring.
Mediator yang dianggap berpengaruh pada timbulnya karsinoma       nasofaring ialah :

Zat nitrosamin.
Ikan asin mengandung nitrosamin yang ternyata merupakan mediator penting,. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan atau makanan yang diawetkan. Juga pada ”QUADID” yaitu daging kambing yang dikeringkan di tunisia, dan sayuran yang fermentasi (asinan) serta taoco di Cina .
Keadaan sosial ekonomi yang rendah.
 Lingkungan dan kebiasaan hidup di Cina, Indonesia dan Kenya, yaitu lingkungan udara yang penuh dengan asap di rumah-rumah yang kurang baik fentilasinya dapat menimbulkan karsinoma nasofaring. Pembakaran dupa di rumah-rumah di negara Hongkong juga dianggap berperan dalam menimbulkan karsinoma nasofaring.
Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat karsinogen.
Benzopyrene, Benzoathracene (sejenis hidrokarbon dalam arang batubara), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan adalah zat – zat yang dapat menyebabkan kanker.
Ras dan keturunan.
Ras kulit putih jarang terkena penyakit karsinoma nasofaring. Bangsa – bangsa di Asia seperti Cina, baik di negara asal maupun yang di perantauan, ras melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang banyak terkena karsinoma nasofaring.


Radang kronis di daerah nasofaring.
 Peradangan menyebabkan mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen lingkungan.
 Gejala dan Tanda ( Viviroy, 2008, Paulino, 2004)
Karsinoma nasofaring termasuk penyakit yang sulit disembuhkan, maka diagnosa dan pengobatan yang sedini mungkin  memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini karsinoma nasofaring, karena tumor masih terbatas di rongga nasofaring.
Gejala dan tanda pada penderita karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu :
Gejala dini
Gejala hidung      
Berupa epistaksis (mimisan) ringan atau sumbatan hidung. Untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada namun tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping tumor). Tumor yang terus tumbuh menyebabkan permukaan mukosa meninggi. Pertumbuhan tumor yang berlanjut akan meluas ke dalam rongga nasofaring, menutupi koana dan menyebabkan hidung buntu yang menetap.
Gejala telinga
Merupakan gejala dini yang timbul .karena tempat asal tumor dekat muara tuba eustachius (fossa rosenmuller). Gangguan dapat berupa penyumbatan muara tuba, telinga tengah akan terisi cairan, cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga, penderita mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan  gangguan pendengaran.
Gejala lanjut
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar.
Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas  ke arah rongga tengkorak dan belakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan gejala akibat kelumpuhan otak syaraf yang sering ditemukan adalah penglihatan dobel, mati rasa di daerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, gangguan pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak, rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot yang terkena tumor.
Gejala Metastasis
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh,  sering terjadi pada tulang, hati dan paru. Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher.

Diagnosa
          Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu      karsinoma nasofaring, protokol di bawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosa pasti serta stadium tumor :
Anamnesis
Mencakup keluhan nyeri kepala, suara bindeng, penglihatan ganda, pendarahan hidung atau mulut serta nyeri tulang.
Pemeriksaan fisik umum dengan menilai keadaan umum, pembesaran hati atau nyeri ketok pada tulang belakang.
Pemeriksaan lokal menilai kelainan neurologik seperti mata juling, lidah dan mulut yang mencong, baal di wajah.
Pemeriksaan regional  dengan melihat  pembesaran kelenjar getah bening leher.
Biopsi untuk menentukan tumor primer atau berasal dari metastasis.
Pemeriksaan patologi anatomi untuk menentukan jenis histopatologi tumor primer.
Pemeriksaan radiologi polos untuk menilai adanya invasi intrakranial atau destruksi tulang-tulang tengkorak. CT Scan dan MRI merupakan pemeriksaan yang mutlak dilakukan untuk menentukan stadium dan tindakan. Sedang pemeriksaan USG untuk mencari kemungkinan metastasis pada hati. Foto Thoraks rutin dilakukan untuk kemungkinan metastasis paru.
Pemeriksaan kedokteran nuklir atas indikasi  stadium lanjut dan bila ada keluhan tulang-tulang panjang atau tulang belakang.
Stadium ( NN, 2008 )
Sistem klasifikasi stadium karsinoma nasofaring (KNF) yang dipakai saat ini ada beberapa macam antara lain menurut UICC, AJCC atau sistem Ho. Pada tahun 1997 AJCC (American Joint Committee on Cancer) AJCC mengeluarkan sistem klasifikasi stadium terbaru yaitu edisi ke-5, menggantikan edisi ke-4 (1988). Berikut ini adalah sistem klasifikasi stadium menurut AJCC 1997 :
Stadium T (Ukuran luas tumor)
T0       Tak ada kanker di lokasi primer
T1       Tumor terletak atau terbatas di daerah nasofaring
T2       Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau ke kavum nasi.
T2a      Tanpa perluasan ke ruang parafaring
T2b      Dengan perluasan ke parafaring
T3      Tumor menyeberang struktur tulang dan atau sinus   paranasal
T4        Tumor meluas ke intrakranial dan atau melibatkan syaraf kranial, hipofaring, fossa infratemporal atau orbita.
Limfonodi regional (N) :
N0      Tidak ada metastasis  ke limfonodi regional
N1       Metastasis unilateral dengan nodus < 6 cm diatas fossa supraklavikula
N2      Metastasis bilateral dengan nodus < 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3       Metastasis nodus :       N3a     > 6 cm
N3b     meluas sampai ke fossa supraklavikula
Metastasis jauh (M) ::
M0       Tak ada metastasis jauh
M1       Metastasis jauh
Pembagian stadium berdasarkan klasifikasi TNMnya disusun sebagai berikut seperti pada tabel 2 berikut ini :    
Tabel 2.1   Stadium KNF

T1
T2a
T2b
T3
T4
N0
I
IIA
IIB
III
IVA
N1
IIB
IIB
IIB
III
IVA
N2
III
III
III
III
IVA
N3
IVB
IVB
IVB
IVB
IVB
M1
IVB
IVB
IVB
IVB
IVB


Pengobatan Karsinoma Nasofaring.
Terapi kanker nasofaring terutama meliputi operasi , kemoterapi dan radioterapi
Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.
Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring (Perez C.A, 2004). Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan menggunakan sinar pengion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat.
Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting (Gunadi dan Amriatun, 1996). Strategi pengobatan radioterapi konvensional untuk karsinoma nasofaring lokoregional lanjut adalah radiasi eksterna dengan total dosis mencapai 66-70 Gy untuk T1-T2 dan 70-75 Gy untuk T3-T4, selama 7 minggu, 5 kali penyinaran dalam seminggu dengan 2 Gy perfraksi. Pada saat dosis mencapai 40 Gy, medulla spinalis harus dikeluarkan dari lapangan radiasi, sedangkan dosis untuk leher bawah dan fosa supraklavikula dengan lapangan dari anterior sampai dengan 50 Gy dengan 2 Gy perfraksi


Pengobatan kanker dengan menggunakan teknik radioterapi dapat dilakukan dengan  cara :
Radiasi Eksterna / Teleterapi
Sumber sinar berupa  sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh. Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Besar energi yang diserap oleh suatu tumor tergantung dari :
Besarnya energi yang dipancarkan oleh sumber energi
Jarak antara sumber energi dan tumor
 Kepadatan massa tumor.
Pada radiasi eksterna cakupan daerah yang memperoleh radiasi cukup luas, meliputi bukan hanya tumor primer dan jaringan sehat sekitarnya saja tetapi juga kelenjar getah bening setempat. Makin luas cakupan radiasi makin banyak jaringan sehat yang terikutserta terkena radiasi. (Susworo R,2007)
Radiasi Interna / Brachiterapi
Sumber energi ditaruh di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di dalam rongga tubuh. Adapun tujuan pemberian brakhiterapi pada karsinoma nasofaring antara lain :
Untuk memberikan dosis boster pada tumor primer yang telah memperoleh radiasi eksterna.
Untuk menghindari kelenjar parotis serta jaringan sehat sekitarnya memperoleh dosis berlebihan dari radiasi eksterna.
Ada beberapa jenis radiasi interna :
Interstitial
Radioisotop yang berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya jarum radium atau jarum irridium.
Intracavitair
Pemberian radiasi dapat dilakukan dengan :
After loading
Suatu aplikator kosong dimasukkan ke dalam rongga tubuh ke tempat tumor. Setelah aplikator letaknya tepat, baru dimasukkan radioisotop ke dalam aplikator itu.
Instalasi
Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh, misal : pleura atau peritoneum.

(3.) Intravena
Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam vena. Misalnya I131  yang disuntikkan IV akan diserap oleh tiroid untuk mengobati kanker tiroid.
Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring
Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Mental dan fisik penderita perlu dipersiapkan demikian pula keluarganya diberikan penjelasan mengenai tindakan pengobatan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai mutlak diperlukan.
Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL.
Penanganan karsinoma nasofaring yang disesuaikan dengan stadiumnya dapat dijabarkan sebagai berikut (Kentjono A.W, 2003):
Stadium I  : Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring dan radiasi profilaktik di daerah leher.


Stadium II  :  1)  Kemoradiasi, atau
Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di   nasofaring dan radiasi profilatik di daerah leher.     
Stadium III  :  1)   Kemoradiasi
2) Radioterapi dosis tinggi / teknik hiperfraksinasi  ditujukan pada tumor primer di nasofaring dan  kelenjar leher bilateral (bila ada). 
3) Diseksi leher mungkin dapat dikerjakan, misalnya pada tumor leher persisten atau renkuren asalkan  tumor primer di nasofaring terkontrol.
Stadium IV  :  1)  Kemoradiasi
2) Radioterapi dosis tinggi atau teknik hiperfraksinasi    ditujukan pada tumor  primer di nasofaring dan  kelenjar leher bilateral (klinis positif)
 3) Diseksi leher dapat dikerjakan bila tumor leher    persisten atau rekuren asalkan tumor primer di  nasofaring sudah terkontrol.
4)  Kemoterapi untuk karsinoma nasofaring untuk stadium IV C
Teknik Radioterapi eksterna Karsinoma Nasofaring
Persiapan
Salah satu langkah dalam tahapan penatalaksanaan radioterapi adalah menentukan batas-batas lapangan radiasi. Tindakan ini merupakan langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya serta kelenjar-kelenjar getah bening regional. Untuk menentukan batas-batas lapangan radiasi serta perhitungan dosis karsinoma nasofaring, maka perlu adanya persiapan penyinaran. Adapun persiapan tersebut meliputi :
Simulator.
Simulasi penyinaran radioterapi pada dasarnya adalah proses pencitraan sinar-x secara fluoroskopi yang seolah-olah melakukan teknik penyinaran seperti dengan pesawat treatment radioterapi yang sesungguhnya. Hal ini diperlukan agar teknik penyinaran yang akan diberikan pada pasien benar-benar mencapai sasaran secara optimal dan akurat.
Dari proses simulasi ini didapatkan beberapa parameter untuk penyinaran, seperti; luas lapangan penyinaran, sudut dan arah sumber penyinaran, blokade area yang harus dilindungi, teknik penyinaran, jarak sentrasi dan sudut kolimasi.
Hal-hal yang harus dimiliki sebagai syarat minimum dari pesawat simulator adalah; memiliki gantry (C-arm) dengan x-ray tube dan image intensifier yang terpasang berhadapan serta dapat diputar 360 derajat dari sumbunya, memiliki kolimator yang dapat diputar 360 derajat terhadap axis sentrasi, memiliki indikator penunjuk jarak Source Axis Distance (SAD), memiliki meja pemeriksaan yang rata, dapat diatur naik-turun (vertical), maju-mundur (longitudinal), digeser kiri-kanan (lateral) dan dapat diputar dari axis sejauh 3600 (rotation).
Prinsip dasar dari proses pencitraan dalam simulasi adalah; set-up posisi simulasi (posisi pasien), lalu dilakukan fluoroskopi terhadap pasien pada perkiraan lokasi penyinaran. Gambaran fluoroskopi diteruskan ke image intensifier, lalu keperangkat sirkuit elektronik dan ditampilkan dimonitor fluoroscopy (cctv). Kemudian akuisisi posisi simulasi, selanjutnya dilakukan eksposi radiografi yang menghasilkan foto simulator (foto terapi).
Terapi radiasi karsinoma nasofaring harus mencakup Clinical Target Volume (CTV) meliputi daerah yang berpotensi terjadi infiltrasi local 1-2 cm diluar Gross Tumor Volume (GTV) yaitu tumor nasofaring itu sendiri dan semua perluasan tumor di sekitar nasofaring termasuk kelenjar getah bening di leher yang membesar. Sementara Planning Treatment Volume (PTV) ditentukan kurang lebih 1 cm diluar CTV.
Pada karsinoma nasofaring volume target utama lapangan radiasi meliputi (Perez C.A, 2004) :
Tumor primer
Kelenjar getah bening
Daerah postensial penjalaran.
Untuk penentuan lapangan radiasi terutama ditentukan oleh distribusi tumor, ekstensi lokal dan metastasis regional, yaitu:
Untuk lesi T1 dan T2 meliputi nasofaring, dasar sinus sphenoid, klifus, 1/3 posterior kavum nasi, fosa pterigoid, dinding orofaring sampai level fosa mid tonsilar, kelenjar retrofaringeal, kelenjar cervical bilateral dan kelenjar supraclavikula.
Untuk Lesi T3 volume target meliputi perluasan ke ruang parafaringeal, kavum nasi dan atau orofaring.
Untuk lesi T4 mencakup dasar tengkorak dan perluasannya ke intra cranial.
Lapangan opposing lateral (Susworo, 2007) :
Batas atas mencakup seluruh dasar tengkorak.
Batas anterior berada di pertengahan palatum durum, mencakup koane.
Batas belakang harus mengikutsertakan rantai kelenjar getah bening servikalis posterior dan seluruh jaringan lunak leher.
Batas bawah mencakup seluruh mandibula, kira-kira setinggi C1,C2 dan C3.
Untuk mengurangi lapangan radiasi  diperlukan blok pada jaringan sehat sebagian mukosa mulut serta sebagian gigi geligi.
 

                                Gambar 2.5 Lapangan opposing lateral
                                          (Susworo,2007)
Dosis diberikan 1,8 Gy – 2 Gy perfraksi yang diberikan 5 kali dalam seminggu sehingga dosis mencapai 66 – 70 Gy dengan memperhatikan lapangan radiasi. Pada saat dosis mencapai 40 Gy, medulla spinalis harus dikeluarkan dari lapangan radiasi, berarti  batas belakang maju ke arah anterior. Dengan lapangan yang terbatas ini dosis dilanjutkan sampai mencapai 66 – 70 Gy tergantung pada keadaan umum pasien serta reaksi lokal. 
 

                        Gambar 2.6  Pengecilan Lapangan opposing lateral
                             (Susworo, 2007)
Selanjutnya radiasi pada  rantai kelenjar getah bening leher serta klavikula dilakukan dari arah anterior dengan batas-batas sebagai berikut:
Batas atas berada 0,5 cm caudal dari batas bawah lapangan nasofaring.
Batas bawah dan lateral mencakup seluruh fosa klavikula kiri dan kanan.
Dilakukan penutupan bagian tengah leher guna melindungi sebagian kelenjar gondok, laring dan trachea serta medulla spinalis.
Kedua sudut bawah lapangan ini ditutup guna melindungi apex paru.
Dosis diberikan dengan fraksi yang sama sehingga mencapai 40 Gy – 45 Gy yang dihitung pada kedalaman 3 – 3,5 cm tergantung pada ketebalan pasien.

                                               Gambar 2.7  Lapangan Supraklavikula,
                               (Asroel, 2002)
Pada karsinoma nasofaring dengan pembesaran getah bening leher, tidak mungkin diberikan radiasi dengan metode lapangan supraklavikula dan lapangan oppossing kanan kiri. Pada 20 Gy pertama dapat diberikan dengan lapangan anteroposterior dan posteroanterior dengan rentang lapangan  dari sinus frontalis  sampai dengan fosa supraklavikula dengan megindahkan daerah daerah yang perlu dilindungi. Setelah itu lapangan diubah sesuai dengan stadiumnya dengan harapan bahwa dosis 20 Gy tersebut dapat memperkecil kelenjar sehingga dimungkinkan pemberian radiasi laterolateral. Setelah medulla spinalis mendapat dosis 40 Gy dilakukan pengecilan lapangan radiasi. Kelenjar yang berada di luar lapangan radiasi setelah dilakukan pengecilan diberikan dosis kompensasi sebesar 10 Gy. (Susworo, 2007).
Upaya untuk melindungi organ-organ vital dalam lapangan radiasi merupakan salah satu perhatian utama terapi radiasi. Hal ini bukan hanya untuk melindungi organ-organ penting, tetapi juga menghindari radiasi yang tidak perlu pada jaringan normal di sekitarnya.

                                                                     Gambar 2.8  Nodule kelenjar lymfenodi Nasofaring
                                                                                                      (Kumar)

  Keterangan Gambar

Preauricular
Submental
Submaxillari
Subdigastric
Upper Posterior Cervical


Midjugular
Mid Posterior Cervical
Lower Jugular
Supraclavukular
Low Posterior Cervical



Ruang cetak (Mould room) (Susworo R, 2007)
                  Di ruang cetak ini dilakukan pembuatan berbagai peralatan bantu, seperti pembuatan masker sebagai alat fiksasi pada saat radiasi ekterna kepala dan leher. Dilakukan pula pembuatan kompensator (bolus) yang terbuat dari lilin atau wax.
TPS ( Treatment Planning System ) ( Jauhari, 2007)
Treatment Planning System atau dapat pula disebut dengan sistem perencanaan radiasi merupakan suatu proses yang sistematik dalam membuat rencana strategi terapi radiasi. Meliputi sekumpulan instruksi dari prosedur radioterapi dan mengandung deskripsi fisik, serta distribusi dosis berdasar pada informasi geometrik/topografi yang ada pada pencitraan (imajing) agar terapi radiasi dapat diberikan secara tepat. TPS ini dalam tampilannya bisa 2D bisa juga 3D.
Tujuan sistem perencanaan radiasi 2D dan 3D adalah untuk menyesuaikan dosis pada volume target dan mengurangi dosis untuk jaringan normal atau organ beresiko yang ada di sekitarnya.
Sistem perencanaan terapi radiasi meliputi :
Posisi pasien terapi.
Imobilisasi.
Mengumpulkan data pencitraan pasien.
Menetapkan volume target dan organ-organ beresiko berdasarkan kumpulan data bentuk-bentuk sinar yang didesain secara grafis dan orientasi sinar.
Bentuk lapangan yang dipilih menggunakan Biological Efek Volume (BEV)
Distribusi dosis 3 dimensi.
Kalkulasi menggunakan algoritma tiga dimensi dan perbandingan informasi yang didapat dari Histogram Dosis Volume (DHV)
TPS terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu:
Hardware. Komponen hardware terdiri dari Central Prosesor Unit (CPU), High resolution graphics, mass storage (hard disc), disks/CD-ROM, keyboard & mouse, high resolution graphics monitor, digitizer, laser/color printer, backup storage facility, network connections.
Software. Komponen software terdiri dari: Input routines, bentuk dari anatomi, beam geometry (virtual simulation), kalkulasi dosis, dosis volume histogram, digital recontruction radiographic.
Image Acquisition.
Ada 2 faktor yang sangat berperan pada pembuatan TPS antara lain:
Simulasi atau lokalisasi daerah radiasi
Pelaksanaan simulasi ini dilakukan di ruang simulator, di sini seolah-olah pasien dilakukan radiasi. Untuk itu jarak sumber sinar ke kulit dan posisi pasien harus sama, baik itu di ruang simulator maupun diruang cobalt 60 /linac.
Computer Tomografi (CT) Planning/CT Simulator
CT.Scan/CT.Planning penting untuk perencanaan terapi dan merupakan kebutuhan utama data imajing untuk 3 Dimention Radiation Therapy Treatment Planning (3D RTTP/Perencanaan Terapi Tiga Dimensi). Perencanaan CT Scan ádalah melokalisasi tumor dengan jumlah irisan yang sangat banyak dan ketebalan 2–10 mm. Semakin tipis irisan maka jumlah irisan akan semakin banyak dengan demikian kualitas pencitraan dapat meningkat.
Rincian bentuk tumor dan ukuran untuk GTV, struktur organ kritis dan CTV, PTV dilakukan oleh staf perencanaan terapi dan ahli onkologi radiasi. Struktur–struktur ditandai secara manual menggunakan sebuah mouse atau bentuk lain dari digitizer. Beberapa struktur dengan batasan yang jelas misalnya kulit dapat terkontur secara otomatis. Jika menggunakan piranti lunak yang modern maka pemberian tanda (kontur) membutuhkan waktu sekitar 1–2 jam untuk sebuah seri perencanaan terapi tiga dimensi secara lengkap.
Penatalaksanaan radioterapi eksterna karsinoma nasofaring

Upaya untuk mendapatkan ketepatan lapangan radiasi adalah dengan posisioning dan imobilisasi yang tepat. Posisi pasien telentang di atas meja pemeriksaan, dengan mengatur posisi tubuh pasien selurus mungkin dengan bantuan laser sebagai langkah awal untuk posisioning 

                                                 Gambar 2.9  Posisi Anatomi Pasien
                                                            (Bentel G.C,1996)

 Teknik imobilisasi untuk pengobatan radiasi di daerah kepala dan leher membutuhkan reproduksibilitas set-up yang sangat tepat, karena dekat dengan mata, chiasma opticum, jalinan saraf dan otak, terutama jika dosis untuk daerah sasaran melebihi toleransi organ-organ didekatnya (Bentel G.C,1996).
         Dua faktor yang paling penting dalam mempertahankan posisi pasien adalah nyaman dan tidak bergerak. Oleh karena itu dibutuhkan alat imobilisasi pasien seperti masker kepala leher supraclavikula dan bantalan kepala. Perlu ditekankan bahwa penggunaan masker sebagai fiksasi kepala pada radiasi karsinoma nasofaring atau kanker kepala leher lainnya adalah mutlak untuk menjamin ketepatan radiasi.(Susworo, 2007). Pada  radiasi daerah kepala dan leher, teknik-teknik imobilisasi yang efektif sangat penting guna menghindari organ-organ didekatnya yang sensitif dengan radiasi.

                                                                Gambar 2.10  Bantalan Kepala  dan Leher
                                                                               (Bentel G.C,1996)


                                                            Gambar 2.11  Masker/Imobilisasi Kepala-Supraclavikula
                                                                                    (Susworo, 2009)

 Pasien biasanya sangat nyaman jika dalam posisi telentang dengan kepala posisi netral (yaitu kening dan dagu terletak pada posisi horizontal).
 Kenyamanan bantal kepala yang pas dengan ketebalan memadai dapat membantu pasien dalam mempertahankan posisi tanpa ketegangan 
     Gambar 2.12 Imobilisasi Bantal Kepala yang Tidak Pas
     (Bentel G.C,1996)
 Namun jika bantal daerah leher lebih tinggi dan daerah kepala terdapat ruang untuk bergerak maka pasien akan tidak nyaman. Meninggikan dada dengan bantal akan membantu ekstensi kepala pasien sehingga spinal lurus dan terletak baik dalam lapangan radiasi




3 comments:

  1. pak, request donk, Patologi Traktus Urinarius

    makasih

    ReplyDelete
  2. mohon untuk lebih dalam tentang peranan moulding dalam penatalaksanaan radiasi eksternal

    ReplyDelete
  3. BEV bukannya beam eye view?

    ReplyDelete